Kamis, 23 April 2009

Pasangan Hidup Merupakan Guru Kita Yang Sejati

"Dibalik figur yang sukses selalu berdiri ISTRI atau SUAMI yang luar biasa", sebuah ungkapan yang tepat adanya. Namun bila dikaji lebih dalam lagi, ungkapan tersebut akan berubah menjadi, "...dibalik figur yang sukses selalu terdapat PERNIKAHAN yang luar biasa". Pernikahan, hidup berpasangan, memang menyimpan hakikat yang sangat dalam, hingga bahkan Tuhan Semesta Alam pun sangat memuliakan institusi ini.Pernikahan bukanlah sebuah akhir pencarian, tapi justru merupakan awal dari serangkaian proses pembelajaran. Disebut pembelajaran, karena pernikahan akan melatih suami-istri untuk saling menekan EGO pribadi. Pernikahan akan membimbing kita untuk semakin peka dalam menyelami hikmah kehidupan.
Dalam menjalani pembelajaran tersebut, pasangan hidup selain berperan sebagai sparring partner, ia juga berperan sebagai pembimbing. Suami membimbing istri, demikian pula sebaliknya. TIDAK ADA yang lebih tinggi, equal basis. Bila pria lebih tinggi dari wanita, ataupun sebaliknya, tentunya Tuhan tidak akan menganjurkan hamba-Nya untuk saling berpasangan. Kenapa harus berpasangan kalau toh masing-masing sudah "hebat"?
Berpasangan itu berarti saling membuka diri untuk belajar satu sama lain. Dengan memposisikan diri sebagai mitra sejajar, pria sama sekali tidak berhak untuk meremehkan istri dan memandangnya hanya sebagai "media" kontinuitas keturunan. Karena itu, yang sesungguhnya dibutuhkan bukanlah kampanye emansipasi wanita, namun kampanye mengenai hakikat sejati dari pernikahan, yaitu pembelajaran.
Sukses bukanlah sebuah tujuan, karena kesuksesan adalah KUALITAS dari pembelajaran. Jiwa manusia memang akan terus bertumbuh melalui pembelajaran sepanjang hayat, karena Sang Maha Pemilik Ilmu memang menginginkan kita untuk terus belajar dan "mencapai" kualitas diri yang prima. Beliau menginginkan kita agar selalu melahirkan tindakan-tindakan yang kaya akan manfaat. Dan salah satu anugerah Beliau untuk mempermudah proses pembelajaran ini adalah PERNIKAHAN.
Setidaknya terdapat 4 pembelajaran yang akan dijumpai dalam pernikahan yaitu:

  1. Belajar menerima keterbatasanDalam pernikahan, ada begitu banyak hal dimana kita akan begitu bergantung pada pasangan hidup. Dengan mengakui keterbatasan diri, akan menciptakan kerendahan hati untuk bersedia belajar. Seperti kata pepatah, "Saat murid siap maka guru akan datang".
  2. Belajar mengakui kelebihanDengan mengakui kelebihan dari pasangan hidup, kita akan menjadi terbiasa untuk melihat kelebihan pada diri orang lain. Selalu ada nilai positif dalam segala hal, bahkan pada orang yang paling tidak kita sukai sekalipun, pasti ada kelebihan yang dapat kita tiru.
  3. Belajar mencanangkan target atau harapanSaat memutuskan untuk terikat pada pernikahan, maka pada saat itu pula pasangan suami-istri telah sepakat untuk "mengikrarkan" sebuah target bersama. Pelatihan ini akan membiasakan suami-istri untuk hidup dengan terarah dan terfokus pada suatu tujuan yang jelas. Goal setting sudah dibiasakan sejak hari pertama pernikahan, dan dalam perjalanannya, akan muncul banyak goal setting berikutnya.
  4. Belajar bersyukur. Mensyukuri sebuah pencapaian, baik besar atau kecil, akan membuka pintu untuk terwujudnya pencapaian yang lebih besar lagi. Bersyukur berarti bersedia mengakui, bahwa hasil yang didapat sebanding dengan upaya yang telah dilakukan. Sang Maha Pemberi Rejeki tidak akan pernah keliru. Mengakui bahwa upaya yang dilakukan masih kurang sempurna, akan menumbuhkan keyakinan, bahwa untuk meraih hasil yang lebih besar lagi yang diperlukan adalah perbaikan diri dan upaya yang lebih baik lagi.
Begitu dalamnya pembelajaran dan hakikat yang terdapat di dalamnya, menjadikan institusi pernikahan sebagai media pembelajaran yang sangat penting dalam kehidupan. Bahkan dikatakan bahwa pernikahan akan "menyempurnakan" keimanan. Ya, karena Tuhan menginginkan kita untuk terus belajar sepanjang hidup kita dan terus memperbaiki diri. Tuhan menginginkan kita semua untuk menebar manfaat, yang artinya, Tuhan menginginkan kita semua untuk SUKSES. Ditulis oleh Tommy Setiawan, seorang trainer, penulis dan pengamat industri MLM.
Selengkapnya...

Pasangan Hidup Merupakan Guru Kita Yang Sejati

"Dibalik figur yang sukses selalu berdiri ISTRI atau SUAMI yang luar biasa", sebuah ungkapan yang tepat adanya. Namun bila dikaji lebih dalam lagi, ungkapan tersebut akan berubah menjadi, "...dibalik figur yang sukses selalu terdapat PERNIKAHAN yang luar biasa". Pernikahan, hidup berpasangan, memang menyimpan hakikat yang sangat dalam, hingga bahkan Tuhan Semesta Alam pun sangat memuliakan institusi ini.Pernikahan bukanlah sebuah akhir pencarian, tapi justru merupakan awal dari serangkaian proses pembelajaran. Disebut pembelajaran, karena pernikahan akan melatih suami-istri untuk saling menekan EGO pribadi. Pernikahan akan membimbing kita untuk semakin peka dalam menyelami hikmah kehidupan.

Dalam menjalani pembelajaran tersebut, pasangan hidup selain berperan sebagai sparring partner, ia juga berperan sebagai pembimbing. Suami membimbing istri, demikian pula sebaliknya. TIDAK ADA yang lebih tinggi, equal basis. Bila pria lebih tinggi dari wanita, ataupun sebaliknya, tentunya Tuhan tidak akan menganjurkan hamba-Nya untuk saling berpasangan. Kenapa harus berpasangan kalau toh masing-masing sudah "hebat"?

Berpasangan itu berarti saling membuka diri untuk belajar satu sama lain. Dengan memposisikan diri sebagai mitra sejajar, pria sama sekali tidak berhak untuk meremehkan istri dan memandangnya hanya sebagai "media" kontinuitas keturunan. Karena itu, yang sesungguhnya dibutuhkan bukanlah kampanye emansipasi wanita, namun kampanye mengenai hakikat sejati dari pernikahan, yaitu pembelajaran.

Sukses bukanlah sebuah tujuan, karena kesuksesan adalah KUALITAS dari pembelajaran. Jiwa manusia memang akan terus bertumbuh melalui pembelajaran sepanjang hayat, karena Sang Maha Pemilik Ilmu memang menginginkan kita untuk terus belajar dan "mencapai" kualitas diri yang prima. Beliau menginginkan kita agar selalu melahirkan tindakan-tindakan yang kaya akan manfaat. Dan salah satu anugerah Beliau untuk mempermudah proses pembelajaran ini adalah PERNIKAHAN.

Setidaknya terdapat 4 pembelajaran yang akan dijumpai dalam pernikahan yaitu:

  1. Belajar menerima keterbatasanDalam pernikahan, ada begitu banyak hal dimana kita akan begitu bergantung pada pasangan hidup. Dengan mengakui keterbatasan diri, akan menciptakan kerendahan hati untuk bersedia belajar. Seperti kata pepatah, "Saat murid siap maka guru akan datang".
  2. Belajar mengakui kelebihanDengan mengakui kelebihan dari pasangan hidup, kita akan menjadi terbiasa untuk melihat kelebihan pada diri orang lain. Selalu ada nilai positif dalam segala hal, bahkan pada orang yang paling tidak kita sukai sekalipun, pasti ada kelebihan yang dapat kita tiru.
  3. Belajar mencanangkan target atau harapanSaat memutuskan untuk terikat pada pernikahan, maka pada saat itu pula pasangan suami-istri telah sepakat untuk "mengikrarkan" sebuah target bersama. Pelatihan ini akan membiasakan suami-istri untuk hidup dengan terarah dan terfokus pada suatu tujuan yang jelas. Goal setting sudah dibiasakan sejak hari pertama pernikahan, dan dalam perjalanannya, akan muncul banyak goal setting berikutnya.
  4. Belajar bersyukur. Mensyukuri sebuah pencapaian, baik besar atau kecil, akan membuka pintu untuk terwujudnya pencapaian yang lebih besar lagi. Bersyukur berarti bersedia mengakui, bahwa hasil yang didapat sebanding dengan upaya yang telah dilakukan. Sang Maha Pemberi Rejeki tidak akan pernah keliru. Mengakui bahwa upaya yang dilakukan masih kurang sempurna, akan menumbuhkan keyakinan, bahwa untuk meraih hasil yang lebih besar lagi yang diperlukan adalah perbaikan diri dan upaya yang lebih baik lagi.

Begitu dalamnya pembelajaran dan hakikat yang terdapat di dalamnya, menjadikan institusi pernikahan sebagai media pembelajaran yang sangat penting dalam kehidupan. Bahkan dikatakan bahwa pernikahan akan "menyempurnakan" keimanan. Ya, karena Tuhan menginginkan kita untuk terus belajar sepanjang hidup kita dan terus memperbaiki diri. Tuhan menginginkan kita semua untuk menebar manfaat, yang artinya, Tuhan menginginkan kita semua untuk SUKSES. Ditulis oleh Tommy Setiawan, seorang trainer, penulis dan pengamat industri MLM.



Selengkapnya...

Memahami Keunikan Diri

Artikel ini saya tulis untuk mencoba menjawab pertanyaan sahabat pembaca yang masuk via email. Terima kasih bagi sahabat yang telah mengajukan pertanyaan, sehingga kita bisa sharing yang semoga ada manfaatnya. Pertanyaan yang diajukan cukup panjang, namun akan saya kemukakan di sini intinya saja.

Inti pertanyaan yang dimaksud adalah apakah manusia itu dilahirkan dengan kemampuan otak yang sama atau berbeda? Tentang kreativitas seseorang, kenapa antara yang satu dengan yang lain berbeda. Kenapa ada yang "wah" dan ada yang "biasa-biasa" saja? Tentang beberapa bangsa di bumi ini; kenapa ada yang bisa menciptakan peradaban dan teknologi tinggi, tapi kita tidak atau belum bisa demikian. Apa karena makanannya, lauknya, minumannya, orangtua atau keluarganya, atau semua itu karena takdir? Begitulah kira-kira rasa penasaran yang diungkapkan oleh sahabat tersebut.
***

Kemajuan hidup bisa kita peroleh dari seberapa besar atau seberapa sulit pertanyaan yang ingin kita jawab dalam kehidupan ini. Maksudnya diri kita yang menjadi jawaban pertanyaan kita sendiri. Misalnya pertanyaan, "Apakah semua orang memiliki kesempatan sukses yang sama?" Kita bisa menjawabnya dengan apakah diri kita bisa sukses dengan segala hambatan dan keterbatasan yang ada. Jika kita bisa menjadi diri yang "sukses" maka pertanyaan itu akan terjawab dengan sendirinya. Demikian juga sebaliknya, jika ternyata "gagal", pasti kita juga memiliki data penyebab kenapa kita "gagal".

Untuk mulai menjawab pertanyaan di atas, saya akan mengutip apa yang pernah dikatakan Buckminster Fuller sebagai berikut: All children are born geniuses; 9.999 out of every 10.000 are swiftly inadvertently degeniusized by grownups.

Jadi sebenarnya pada awalnya kita semua sebenarnya memiliki kejeniusan atau bisa dikatakan, memiliki kemampuan otak yang sama. Namun sayang, seiring dengan pertumbuhan, kejeniusan itu terkikis atau menjadi terpendam secara tidak disadari karena pengaruh lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat dan terutama pendidikan.

Untuk lebih jelasnya, saya akan mengisahkan seperti apa yang saya peroleh dari Talk Show Nasional bersama Kak Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak, tanggal 24 Januari yang lalu. Tentunya di sini dengan gaya cerita dan daya ingat saya.

Al kisah, di sebuah hutan-sebut saja Alas Roban--yang dihuni beragam jenis hewan, menteri pendidikan Alas Roban memberlakukan kurikulum sekolah yang sama untuk semua jenis hewan. Semua penghuni Alas Roban dianggap sama, sehingga harus belajar pelajaran yang sama dengan porsi yang sama pula.

Maka di sekolah, ketika pelajaran memanjat pohon, sang harimau dengan mudah naik, sementara itik harus bersusah payah memanjat dan tidak juga berhasil. Si monyet juga hampir menangis ketika mengikuti pelajaran menyelam, sementara katak dengan mudahnya masuk ke air. Demikian juga harimau, hampir tenggelam ketika mati-matian mengikuti pelajaran renang, sementara itik dengan gembiranya beranang di atas air. Ketika pelajaran bergantung di pohon, monyet dengan senangnya berayun-ayun di dahan, sementara si buaya dengan susah payah hanya bisa meraba-raba akarnya. Begitu seterusnya, dengan hewan-hewan lain hingga lambat laun mereka lupa tentang keahlian unik yang ada pada dirinya sejak lahir karena harus mempelajari sesuatu yang bukan bakat atau bidangnya, dan terkadang dipaksakan. Akhirnya, itik menjadi tidak bisa berenang, katak lupa dengan keahliannya menyelam, monyet lupa caranya memanjat pohon, dan harimau hanya bisa mengaum.

Demikianlah dahulu kita menjalani masa pertumbuhan. Karena kita dianggap sama dengan yang lain dan harus belajar sangat banyak hal yang belum tentu itu sesuai dengan keunikan diri kita, akhirnya jadilah diri kita yang sekarang; yang ketika ditanya, "Apa cita-citamu?" Kita hanya geleng-geleng kepala. "Apa bakat atau talentamu?" Kita juga menjawab, "Tidak tahu...".

Yang harus kita pahami di sini adalah keunikan diri yang masing-masing pribadi berbeda. Bahkan pada anak kembar sekalipun, tidak bisa disamakan dalam segala hal. Tetap saja ada perbedaan bawaan lahir yang harus diperhatikan.

Adi W. Gunawan dalam artikelnya yang berjudul "Born To Be A Genius but Conditioned To Be An Idiot", menjelaskan bahwa anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius, namun proses pendidikan yang salah telah membuat anak tidak mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Kita tidak menyadari potensi diri yang sesungguhnya. Kalaupun kita tahu dan sadar akan potensi ini, kita merasa tidak mampu untuk mengembangkannya secara optimal.
Hal di atas, masih menurut Pak Adi, menyebabkan anak memiliki konsep diri yang buruk. Adapun cirri-cirinya yaitu:

Pertama, anak tidak atau kurang percaya diri.
Kedua, anak takut berbuat salah.
Ketiga, anak tidak berani mencoba hal-hal baru.
Keempat, anak takut penolakan.
Kelima, anak tidak suka belajar dan benci sekolah.

Kemungkinan besar karena proses pendidikan dan pengaruh lingkunganlah, kita yang pada awalnya memiliki kejeniusan yang sama, namun setelah dewasa menjadi berbeda kualitasnya. Bisa diibaratkan seperti benih tanaman, jika ia tumbuh di tanah yang subur dengan iklim yang sesuai maka bisa dipastikan tanaman itu akan tumbuh seperti yang diharapkan. Beda kasusnya jika meskipun benih unggul, impor pula, namun jika ditanam di tanah yang tandus dan iklimnya tidak sesuai maka bisa dipastikan benih itu tidak akan tumbuh atau mati. Sebagai contoh, saya juga pernah mencoba menanam pohon apel di depan rumah, namun akhirnya mati juga. Ya, karena struktur tanah dan iklim di daerah saya bukanlah tempat yang tepat untuk menanam apel.

Tentang kreativitas seseorang atau suatu bangsa sekalipun; kenapa ada yang bisa menciptakan teknologi tinggi sementara yang lain tidak demikian, menurut saya itu karena kebudayaan, sejarah sosial dan ekonomi, sistem pendidikan, nenek moyang dan nilai hidup yang dianut masing-masing orang atau bangsa itu berbeda. Kita tidak bisa menyamakan diri dengan bangsa Amerika, Eropa ataupun Jepang karena bangsa kita juga memiliki ciri khas sendiri. Bangsa kita dijajah sekitar 3,5 abad dan dahulu berasal dari kerajaan-kerajaan yang bernuansa Hindu, Budha dan Islam. Nenek moyang kita juga petani dan pelaut sesuai dengan keadaan alam Indonesia. Jadi kita boleh kagum dengan Amerika yang bisa membuat satelit, roket dan mendaratkan manusia di bulan, namun kita juga tidak boleh melupakan Candi Borobudur yang masuk dalam tujuh keajaiban dunia.

Kita mungkin kagum dengan bangsa Jepang yang bisa merajai dunia industri elektronik dan kendaraan bermotor, namun kita juga harus bangga memiliki kekayaan budaya dan etnik yang beragam. Mungkin rasa bangga kita kian sirna karena kepribadian kita sebagai bangsa yang besar telah tenggelam oleh laju globalisasi, dan lupa bahwa kita juga memiliki keunikan tersendiri. Hanya kita belum mengoptimalkannya, dan lebih memilih meniru budaya atau teknologi dari luar yang kita nilai lebih canggih. Boleh-boleh saja kita melakukan alih teknologi agar tidak terlalu ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain, tapi kita juga tidak boleh melupakan bahwa negara kita juga masih berbasis pada pertanian dan kelautan; jika kita masih mau melihat potensi alam kita yang ada di ribuan pulau dan luasnya perairan laut yang kita miliki.

Adapun tentang makanan, lauk, minuman, orangtua atau keluarga, menurut saya tidak ada kolerasinya secara langsung dengan "keluarbiasaan" seseorang atau suatu bangsa. Kita bisa bercermin diri mengapa bangsa kita masih tertinggal dari bangsa lain, mungkin itu karena kita sebagai bangsa masih malas, kurang belajar, terlalu pasrah pada keadaan, dan kurang maksimal menggunakan kejeniusan otak kita. Saya juga sering mendengar gurauan bahwa kalau otak manusia itu ada yang menjual maka yang paling mahal adalah otak orang Indonesia. Tahu alasannya? Katanya karena otak orang Indonesia masih orisinil, dengan artian "tidak pernah atau jarang dipakai". Sungguh menyedihkan ya...
Atau semua itu karena takdir?

Apalagi yang ini, tentu tidak masuk akal. Kata seorang mentor saya, "Takdir akan turun jika kita telah berusaha semaksimal mungkin". Jadi tentang hal ini tidak usah dibahas lebih jauh.
Ada tertulis "...Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..."

***

Demikianlah jawaban yang dapat saya kemukakan. Jadi, sudah seharusnyalah kita bisa memahami keunikan diri kita masing-masing. Melihat bahwa kita-sebagai individu maupun bangsa-memiliki potensi dan keunggulan tersendiri yang bisa kita berdayakan agar bisa menjadi manusia atau bangsa yang luar biasa.

Jika kita berfokus pada kelebihan yang melekat pada diri kita maka kemajuan bisa kita peroleh, namun jika kita hanya melihat kekurangan atau keterbatasan yang ada pada diri kita, bisa dipastikan kemajuan atau kesuksesan akan semakin jauh dari jangkauan kita.
Semoga bermanfaat! [AR]

Agus Riyanto
Penulis buku "Born To Be A Champion"

Selengkapnya...

Selasa, 14 April 2009

kebiasaan orang bule vs orang asia

ini cuman buat hiburan, moga2 ga tersinggung.. coba aja dilihat2 .. bener gak ? he.he. :D

Blue –> Westerner
Red –> Asian

Opinion

B: langsung to the point.
R: blunder muter-muter dulu, apalagi kalo opininya berbeda paham.

Punctuality

B: on time.
R: in time.

Contacts

B: contact to related person only.
R: semua temen, semua sodara, relasi luas, bisnis lancar.

Anger

B: marah ya marah.
R: marah tapi ramah.

Queue when Waiting

B: biasa antri teratur.
R: rebutan dong, siapa cepat dapat lah.

Sundays on the Road

B: menikmati weekend with his own way.
R: doyan ke tempat2 keramaian, mal, dll.

Party

B: bebas-bebas aja berkelompok dengan groupnya sendiri.
R: semua fokus ke satu acara party yang diarrange EO.

In the restaurant

B: ngobrol pelan-pelan di resto.
R: ribut ngobrol keras-keras and ketawa-tiwi, ga peduli meja sebelah.

Travelling

B: demen sightseeing, yang penting menikmati pemandangannya.
R: yang penting foto-foto untuk memory, pemandangan cuma jadi background.

Handling of Problems

B: tabrak aje, yang penting solve the problem.
R: sebisa mungkin menghindari masalah, or jangan sampe ninggalin jejak.

Three meals a day

B: makan kenyang 1 kali sehari.
R: 3 x makan, ya kudu 3 x kenyang.

Transportation

B: dulu pake mobil, sekarang udah care sama environment & health yang ga polusi.
R: dulu sengsara pake sepeda, sekarang gengsi dong kalo ga pake mobil.

Elderly in day to day life

B: udah tua lonely, paling ditemani Snoopy.
R: masa tua ga bakal kesepian, asal bantu ngemong cucu ya.

Moods and Weather

B: logikanya, hujan ya bikin repot.
R: banyak hujan, banyak hoki ya.

The Boss

B: boss juga member of team.
R: boss is dewa yang ditakuti.

What’s Trendy

B: makanan Asia yang healthy.
R: makanan Barat yang bergengsi.

The child

B: its ok punya anak, ntar dia harus berjuang untuk hidup like us.
R: kerja jatuh bangun, segala-galanya demi anak, sang penerus generasi

Selengkapnya...

Selasa, 07 April 2009

Arti Kehidupan

Alkisah, seorang pemuda mendatangi orang tua bijak yang tinggal di sebuah desa yang begitu damai. Setelah menyapa dengan santun, si pemuda menyampaikan maksud dan tujuannya. "Saya menempuh perjalanan jauh ini untuk menemukan cara membuat diri sendiri selalu bahagia, sekaligus membuat orang lain selalu gembira."

Sambil tersenyum bijak, orang tua itu berkata, "Anak muda, orang seusiamu punya keinginan begitu, sungguh tidak biasa. Baiklah, untuk memenuhi keinginanmu, paman akan memberimu empat kalimat. Perhatikan baik-baik ya..."

"Pertama, anggap dirimu sendiri seperti orang lain!" Kemudian, orang tua itu bertanya, "Anak muda, apakah kamu mengerti kalimat pertama ini? Coba pikir baik-baik dan beri tahu paman apa pengertianmu tentang hal ini."

Si pemuda menjawab, "Jika bisa menganggap diri saya seperti orang lain, maka saat saya menderita, sakit dan sebagainya, dengan sendirinya perasaan sakit itu akan jauh berkurang. Begitu juga sebaliknya, jika saya mengalami kegembiraan yang luar biasa, dengan menganggap diri sendiri seperti orang lain, maka kegembiraan tidak akan membuatku lupa diri. Apakah betul, Paman?"

Dengan wajah senang, orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala dan melanjutkan kata-katanya. "Kalimat kedua, anggap orang lain seperti dirimu sendiri!"

Pemuda itu berkata, " Dengan menganggap orang lain seperti diri kita, maka saat orang lain sedang tidak beruntung, kita bisa berempati, bahkan mengulurkan tangan untuk membantu. Kita juga bisa menyadari akan kebutuhan dan keinginan orang lain. Berjiwa besar serta penuh toleransi. Betul, Paman?"

Dengan raut wajah makin cerah, orang tua itu kembali mengangguk-anggukkan kepala. Ia berkata, "Lanjut ke kalimat ketiga. Perhatikan kalimat ini baik-baik, anggap orang lain seperti mereka sendiri!"

Si anak muda kembali mengutarakan pendapatnya, "Kalimat ketiga ini menunjukkan bahwa kita harus menghargai privasi orang lain, menjaga hak asasi setiap manusia dengan sama dan sejajar. Sehingga, kita tidak perlu saling menyerang wilayah dan menyakiti orang lain. Tidak saling mengganggu. Setiap orang berhak menjadi dirinya sendiri. Bila terjadi ketidakcocokan atau perbedaan pendapat, masing-masing bisa saling menghargai."

Kata orang tua itu, "Bagus, bagus sekali! Nah, kalimat keempat: anggap dirimu sebagai dirimu sendiri! Paman telah menyelesaikan semua jawaban atas pertanyaanmu. Kalimat yang terakhir memang sesuatu yang sepertinya tidak biasa. Karena itu, renungkan baik-baik."

Pemuda itu tampak kebingungan. Katanya, "Paman, setelah memikirkan keempat kalimat tadi, saya merasa ada ketidakcocokan, bahkan ada yang kontradiktif. Bagaimana caranya saya bisa merangkum keempat kalimat tersebut menjadi satu? Dan, perlu waktu berapa lama untuk mengerti semua kalimat Paman sehingga aku bisa selalu gembira dan sekaligus bisa membuat orang lain juga gembira?"

Spontan, orang tua itu menjawab, "Gampang. Renungkan dan gunakan waktumu seumur hidup untuk belajar dan mengalaminya sendiri."

Begitulah, si pemuda melanjutkan kehidupannya dan akhirnya meninggal. Sepeninggalnya, orang-orang sering menyebut namanya dan membicarakannya. Dia mendapat julukan sebagai: "Orang bijak yang selalu gembira dan senantiasa menularkan kegembiraannya kepada setiap orang yang dikenal."


Pembaca yang luar biasa,

Sebagai makhluk sosial, kita dituntut untuk belajar mencintai kehidupan dan berinteraksi dengan manusia lain di muka bumi ini. Selama kita mampu menempatkan diri, tahu dan mampu menghargai hak-hak orang lain, serta mengerti keberadaan jati diri sendiri di setiap jenjang proses kehidupan, maka kita akan menjadi manusia yang lentur. Dengan begitu, di mana pun kita bergaul dengan manusia lain, akan selalu timbuk kehangatan, kedamaian, dan kegembiraan. Sehingga, kebahagiaan hidup akan muncul secara alami... luar biasa!

Andrie Wongso<\span> Selengkapnya...

managemen diri

Manajemen diri (self management) merupakan istilah yang sangat populer saat ini. Banyak seminar, training, maupun tulisan yang mengupas subyek ini karena memang diperlukan bagi mereka yang berada di lingkungan profesional maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.Pada dasarnya manajemen diri merupakan pengendalian diri terhadap pikiran, ucapan, dan perbuatan yang dilakukan, sehingga mendorong pada penghindaran diri terhadap hal-hal yang tidak baik dan peningkatan perbuatan yang baik dan benar.

Manajemen diri juga menuju pada konsistensi dan keselarasan pikiran, ucapan dan perbuatan sehingga apa yang dipikirkan sama dan sejalan dengan apa yang diucapkan dan diperbuat. Integritas seperti inilah yang diharapkan akan timbul dalam diri para praktisi manajemen diri.

Sebelum bisa memiliki pikiran-ucapan-perbuatan baik, terlebih dahulu seseorang harus memiliki pemahaman dan pengertian yang benar.

Jadi urutan yang benar adalah :

Pemahaman/pengertian benar ==> pikiran benar ==> ucapan benar ==>perbuatan benar.

Akan tetapi walaupun punya pemahaman terhadap kebaikan dan ketidakbaikan, belum tentu pikiran seseorang mampu diarahkan terus-menerus terhadap kebaikan. Dan walaupun seandainya pikiran seseorang sudah didominasi oleh kebaikan, belum menjamin bahwa ucapannya selalu sejalan dengan pikiran baik ini. Demikian pula tidak ada garansi bahwa perbuatannya secara fisik merefleksikan sepenuhnya pikiran yang baik ini.

Sebagai contoh, apapun latar belakang, umur, jenis kelamin, pendidikan, suku dan lain sebagainya, umumnya kita setuju bahwa olah raga dengan frekuensi dan dosis yang tepat, dapat menjaga kebugaran, daya tahan dan kesehatan seseorang. Pemahaman ini menuntun pada pikiran yang baik bahwa olah raga penting bagi kesehatan.

Pemahaman dan pikiran tentang kebaikan olah raga ini lebih mudah sejalan dengan ucapan. Sewaktu menasihati orang lain, dengan mudah kita menjelaskan pentingnya berolah raga secara teratur. Akan tetapi sewaktu harus praktek langsung, banyak di antara kita akan memunculkan berbagai alasan untuk mendukung dan memberikan pembenaran mengapa diri kita sendiri jarang atau bahkan tidak sama sekali berolah raga. Mulai dari alasan sibuk bekerja, waktunya belum tepat, tidak ada sarana, dan lain-lain.
Ini menjelaskan mengapa banyak orang yang tidak atau belum sukses padahal begitu banyak kiat, taktik, strategi, dan metode sukses diajarkan melalui buku, kaset, seminar dan lain-lain. Banyak di antara kita hafal di 'luar kepala' dan mampu dengan cepat menyebutkan persyaratan untuk bisa sukses, mulai dari berdisiplin tinggi, tepat waktu, punya integritas, jujur, fokus pada apa yang sedang dikerjakan, kerja sama team, bertanggung jawab, bekerja keras, tidak mudah putus asa, dan lain sebagainya.

Begitulah, banyak dari kita hanya bermain pada tataran pemahaman dan pikiran, atau paling jauh sampai level ucapan saja. Begitu harus diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari secara disiplin, kita memberikan banyak maaf kepada diri sendiri untuk menunda atau tidak melakukan berbagai kiat, taktik, strategi dan metode sukses tersebut.

Akhirnya sukses terlihat hanya menjadi hak orang lain dan bukan hak kita. Padahal kita sendirilah yang menentukan sukses tidaknya diri kita masing-masing karena setiap orang punya hak untuk sukses, seperti yang dikatakan oleh Bapak Andrie Wongso bahwa " Success is My Right " (sukses adalah hak saya).

Sebenarnya tanpa perlu menjalankan semua persyaratan sukses, masih terbuka lebar kesempatan meraih berbagai keberhasilan dalam hidup kita. Seringkali cukup dengan menjalankan secara disiplin dan konsisten beberapa poin saja di antaranya, maka kita akan menjadi insan-insan yang berbeda dan lebih baik dari mereka-mereka yang hanya berwacana di tataran pikiran dan ucapannya saja (OmDo = Omong Doang, NATO = No Action Talk Only, "Tong Kosong Nyaring Bunyinya").

Dari contoh-contoh di atas dapat diringkas sebagai berikut :

Pemahaman/pengertian benar ==> pikiran benar ==> ucapan benar ==> perbuatan salah.

Kondisi yang lebih memprihatinkan adalah :

Pemahaman/pengertian benar ==> pikiran benar ==> ucapan salah ==> perbuatan salah.

Tidak tertutup kemungkinan juga :

Pemahaman/pengertian benar ==> pikiran salah ==> ucapan salah ==> perbuatan salah.
Dan yang pasti terjadi jika pemahaman/pengertian seseorang tidak benar adalah :

Pemahaman/pengertian salah ==> pikiran salah ==> ucapan salah ==> perbuatan salah.

John C. Maxwell mengatakan bahwa pikiran berlanjut ke ucapan terus ke perbuatan. Jika rangkaian ini terus dilakukan dapat membentuk kebiasaan yang menghasilkan karakter seseorang dan akhirnya menentukan destiny (= nasib)-nya.

Marilah kita mulai menyelaraskan antara pikiran benar, ucapan benar dan perbuatan benar untuk membentuk kebiasaan benar dalam membangun karakter yang benar pula sehingga pada akhirnya kita bisa menuai 'hasil' yang baik dan benar pula dalam semua aspek kehidupan kita.


Penulis : Toni Yoyo <\span>
Selengkapnya...